PengertianUlumul Qur'an Dari pembahasan yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa kata Ulumul Qur'an secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu "ulum" dan "Al-Qur'an". Sedangkan secara terminologi dapat disimpulkan bahwa ulumul qur'an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang PENGERTIANAL-QUR'AN SECARA ETIMOLOGIS, TERMINOLOGIS. Muhammad Sutera. Download PDF. Download Full PDF Package. This paper. A short summary of this paper. 37 Full PDFs related to this paper. READ PAPER. PENGERTIAN AL-QUR'AN SECARA ETIMOLOGIS, TERMINOLOGIS. Download. Keberadaannyaakan diketahui dengan taubat dan talqin kalimat "Laa Ilaaha Illalloh". Ruh ini dinamakan oleh ahli Tashowuf sebagai bayi ma'nawi (thiflul ma'ani).. Ia dapat naik dan turun, menyatu dan terlepas, keluar, pergi dan datang, bergerak dan diam dari jasad. Substansinya sama dengan nafs, sekalipun sifat-sifatnya berbeda. Sedangkansecara terminologi dapat disimpulkan bahwa ulumul qur'an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur'an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur'an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia. Ulumul Qur'an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Secaraetimologi, isnad berarti menyandarkan. Secara terminologi, isnad adalah menerangkan sanad hadits (jalan menerima hadits). [9] Sedangkan Hasbi Ash Shidiqi, mendefinisikan isnad dengan رفع الحديث إلى قائله أو ناقله, yang artinya mengangkat hadits kepada yang mengatakannya, atau yang menukilkannya. [10] Vay Tiền Nhanh Ggads. Secara etimologi Ulumul Qur’an terdiri dari dua kata, yaitu ulum dan al-qur'an. 'Ulum adalah jama' dari al 'ilm yang berarti ilmu, maka ulum berarti ilmu-ilmu. Sedangkan kata Al-Qur’an, secara harfiah, berasal dari kata qoro'a yang berarti membaca atau mengumpulkan. Kedua makna ini mempunyai maksud yang sama, membaca berarti juga mengumpulkan, sebab orang yang membaca bekerja mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat dalam sesuatu yang ia baca. Maka perintah membaca dalam Alquran, seperti yang terdapat di awal Surah Al-Alaq, bermakna bahwa Allah menyuruh umat Islam mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat di alam raya atau dimana saja, dengan tujuan agar si pembaca melalui gagasan, bukti atau ide yang terkumpul dalam pikirannya itu, memperoleh suatu kesimpulan bahwa segala yang ada ini diatur oleh Allah. Berdasarkan pengertian di atas, maka secara bahasa kata ulumul al-qur'an dapat diartikan kepada ilmu-ilmu tentang Alquran. Secara terminologi, Al-Quran berarti "Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, sampai kepada kita secara mutawatir. Dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas, dan dinilai ibadah berpahala bagi setiap orang yang membacanya." Jadi, ulumul quran secara istilah bermakna "Segala ilmu yang membahas tentang kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang berkaitan dengan turun, bacaan, kemukjizatan, dan lain sebagainya". Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya At-Thibyan fi Ulumil Al-Qur'an mendefinisikan, Ulumul Quran adalah "Kajian-kajian yang berhubungan dengan Alquran dari aspek turun, pengumpulan, susunan, kodifikasi, asbab an-nuzul, al-makki wa al-madani, pengetahuan mengenai an-nasikh dan al-mansukh, muhkam dan mutasyâbih dan lain sebagainya segala pembahasan yang berkaitan dengan Al-Quran." Menurut Az-Zarqani dalam kitabnya Manahil Al-'Irfan fi Ulumil Qur'an, Ulumul Quran adalah "Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al-Quran, dari aspek turun, susunan, pengumpulan, tulisan, bacaan, tafsir, mukjizat, nasikh dan mansukh, menolak syubhat darinya, dan lain-lain." Jadi, apa saja ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran adalah termasuk dalam perbincangan Ulumul Quran. Apa itu Ilmu Ulumul Quran dan Apa Saja Ruang Lingkupnya? 9 Maret 2022 Pengertian Ulumul Quran adalah mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan ilmu serta penafsiran dari Alquran. Ulumul Quran juga bisa diartikan sebagai metode dalam mencari hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain, termasuk juga cara menerima wahyu oleh Nabi Muhammad SAW. Pengertian Ulumul Quran dan Penjelasan Lengkapnya Ulumul Quran terdiri dari 2 kata yakni Ulum dan juga Alquran. Dari kedua kata tersebut bisa diartikan jika Ulumul Quran, merupakan ilmu yang membahas mengenai ilmu Alquran atau ilmu yang membahas mengenai Alquran. Selain itu, terdapat juga pengertian Ulumul Quran, dari para ulama, seperti yang berikut ini 1. Al-Zarqoni Ulumul Quran adalah ilmu-ilmu yang membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan Alquranul karim, yaitu dari aspek turun, sususan, pengumpulan, tulisan, bacaan, penjelasan tafsir, mukjizat, nasikh, mansukhnya, serta menolak terhadap hal-hal yang dapat mendapatkan keraguan terhadapnya Alquran. 2. Muhammad Ali al-Shabuni Ulumul Quran adalah ilmu-ilmu yang membahas tentang turunnya Alquran, pengumpulannya, susunannya, pembukuannya, sebab-sebab turunnya, makkiyah, dan madaniyah, serta mengenai nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, dan lain-lain yang sehubungan dengan Alquran. 3. As-syuthi Pengertinan yang diberikan adalah ilmu yang membahas seluk-beluk Alquran. Diantaranya yaitu yang membicarakan aspek turunnya, sanadnya, bacaannya, lafaznya, maknanya yang berhubungan dengan hukum, dan lain sebagainya. Dari pengertian di atas bisa disimpulkan jika Ulumul Quran adalah sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Alquran berikut dengan petunjuk yang ada di dalamnya. Sejarah Jada Pinkett Smith Is Treating Her Hair Loss With Steroids They Seem to Be Helping’ lixus labs big pharma one of the worst mass murderers in history must be held accountable – Perkembangan Ulumul Qur’an Pada saat pemerintahan khalifah Utsman bin Affan, Islam mengalami perkembangan yang luas. Bahkan, sudah banyak orang Arab yang bercampur dan berinteraksi dengan orang asing. Dalam hal ini, percampuran serta akulturasi budaya yang terjadi memicu rasa khawatir dari para sahabat. Dari rasa khawatir tersebut, ayat Alquran mulai disalin dan dijadikan sebagai dasar Ulumul Quran atau yang disebut juga dengan sebutan Al rasm Al-Utsmani. Untuk selanjutnya, Ulumul Quran memasuki masa pembukuan yang dilakukan pada abad ke 2 H. Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Quran Ruang lingkup pembahasan dari Ulumul Quran sangatlah luas. Di dalamnya terdapat pembahasan mengenai ilmu yang berkaitan dengan Alquran, seperti halnya ilmu agama yang didalamnya juga meliputi ilmu tafsir serta ilmu-ilmu bahasa Arab. Mempelajari Ulumul Quran juga mencakup bahasan dai sisi tentang pembacaan, tertib mengenai penulisan, hingga asbabun Nuzul. 2 Pokok Bahasan Ilmu Ulumul Quran Terdapat 2 pokok bahasan dalam Ulumul Quran. Pokok bahasan yang dimaksud adalah sebagai berikut Ulumul Quran memiliki hubungan dengan dirayah. Ilmu ini diperoleh dengan cara penelaahan yang mendalam seperti saat memahami lafadz yang asing serta mengetahui makna dari ayat yang berhubungan dengan hukum. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti halnya ilmu mengenai macam qira’at, tempat dimana ayat Alquran turun, serta waktu, dan .sebab diturunkannya ayat tersebut/ Dari pengertian Ulumul Quran di atas, maka bisa disimpulkan jika Ulumul Quran bisa digunakan untuk mengetahui isi kandungan Alquran. Dengan demikian, umat juga bisa memahami serta mengamalkannya dengan baik untuk kehidupan sehari-hari. Selain itu, mereka yang memiliki niatan untuk menafsirkan Alquran sebaiknya menguasai dulu Ulumul Quran. Tertarik ingin mencetak Alquran dan juga buku-buku Islam untuk berbagai keperluan, terutama sekolah dan pengajian juga jamaah? Anda bisa segera menghubungi jasa percetakan alquran terbaik dan terpercaya di Gema Risalah Press. Segera hubungi untuk info serta konsultasi pemesanan yang lebih lanjut. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah Islam dan Iman kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutinya. Pada kesempatan kali ini, kita akan mempelajari bersama ilmu ushul fiqh yang merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat penting dalam kajian agama Islam. A. Apa itu Ushul Fiqh? 1. Pengertian Ushul Fiqh Secara Etimologi Ushul Fiqh أُصُوْلُ الْفِقْهِ secara etimologi terdiri dari dua suku kata yaitu ushul dan fiqh. Berikut ini pengertian dari masing-masing kedua suku kata tersebut a. Pengertian Ushul Ushul أُصُوْلٌ secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata ash-lun أَصْلٌ yang berarti asal, pokok, atau pondasi; yakni sesuatu yang menjadi pondasi suatu bangunan baik itu yang bersifat fisik maupun nonfisik. Contohnya akar pohon yang mana ia merupakan pondasi dari pohon itu sendiri. Sebagaimana firman Allah ta’ala أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit QS. Ibrahim 24 b. Pengertian Fiqh Adapun fiqh فِقْهٌ secara bahasa bermakna fah-mun فَهْمٌ yang artinya pemahaman mendalam yang memerlukan pengerahan akal pikiran. Pengertian ini ditunjukkan dalam firman Allah ta’ala وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي *يَفْقَهُوا قَوْلِي dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, sepaya mereka memahai perkataanku, QS. Thaha 27 – 28 Menurut Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, fiqh secara terminologi adalah مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ بِأَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ Mengenal hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah dengan dalil-dalilnya yang terperinci.[1] 2. Pengertian Ushul Fiqh Secara Terminologi Adapun pengertian ushul fiqh secara terminologi adalah عِلْمٌ يَبْحَثُ عَنْ أَدِلَّةِ الْفِقْهِ الْإِجْمَالِيَّةِ وَكَيْفِيَّةِ الْاِسْتِفَادَةِ مِنْهَا وَحَالِ الْمُسْتَفِيْدِ Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang umum dan cara mengambil faedah dari dalil tersebut serta membahas keadaan orang yang mengambil faedah.[2] Ushul fiqh adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang bersifat global, yaitu berupa kaidah-kaidah umum; seperti Perintah menunjukkan hukum wajib selama tidak ada indikasi yang memalingkannya dari hukum tersebut. Larangan menunjukkan hukum haram selama tidak ada indikasi yang memalingkannya dari hukum tersebut. Sahnya suatu amalan menunjukkan amalan tersebut telah terlaksana. Dan sebagainya. Kemudian di dalam ilmu ini dibahas pula tata cara pengambilan faedah hukum dari dalil-dalil yang ada dengan mempelajari hukum-hukum lafadz dan penunjukkannya; seperti umum, khusus, mutlaq, muqoyyad, nasikh, mansukh, dan sebagainya. Dengan memiliki ilmu tersebut maka kita bisa mengambil faedah-faedah hukum atau mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil fiqh yang ada. Selain itu, dibahas juga dalam ilmu ini tentang ihwal mustafid. Atau bisa juga disebut dengan mujtahid; yaitu mereka yang memiliki kapasitas ilmu sehingga mampu mengambil faedah hukum dari dalil yang ada. Pembahasan mengenai mustafid ini mencakup syarat-syaratnya, tingkatan-tingkatannya, hukumnya, dan semacamnya. Di sisi lain, dibahas juga tentang muqallid; yakni orang awam yang belum memiliki kapasitas ilmu untuk bisa mengambil faedah hukum. Sehingga mereka mengikuti para mujtahid yang sudah memiliki kapasitas untuk itu. B. Perbedaan Antara Fiqh dan Ushul Fiqh 1. Objeknya Objek kajian atau pembahasan dalam ilmu ushul fiqh secara umum mencakup 3 hal Sumber dan dalil hukum syar’i secara global Hukum syar’i yang terkandung dalam dalil secara global Kaidah ushuliyyah dan metode istinbath hukum syar’i Perbedaannya dengan fiqh adalah Pertama Bahwa ushul fiqh hanya membahas sumber dan dalil hukum syar’i secara global, seperti ijma’ dapat dijadikan dalil, penunjukkan lafadz umum itu bersifat persangkaan, istihsan itu dapat dijadikan hujjah, dan semacamnya. Sedangkan fiqh yang dibahas dalilnya bersifat rinci, seperti dalil wajibnya niat dalam suatu amalan adalah “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” dan sebagainya. Kedua Bahwa ushul fiqh hanya membahas hukum syar’i secara global yang terkandung dalam sebuah dalil; seperti apa hukum yang terkandung dalam dalil ini? Wajibkah? Atau haramkah? Atau selainnya? Sementara fiqh membahas hukum syar’i secara terperinci; seperti niat dalam shalat itu hukumnya wajib, takbiratul ihram itu hukumnya wajib, berbicara dalam shalat itu hukumnya haram, dan sebagainya. Ketiga Bahwa ushul fiqh membahas kaidah dan metode istinbath hukum, sementara fiqh membahas hukum perbuatan mukallaf. 2. Tujuannya Dari segi tujuannya, ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari kaidah dalam rangka menghasilkan hukum syar’i. Sehingga dengan ilmu inilah seseorang bisa mengambil kesimpulan hukum syar’i dari dalil-dalil yang ada. Sementara ilmu fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari status hukum mukallaf atau menetapkan hukum pada setiap perbuatan mukallaf. Dengan ilmu ini maka kita bisa mengetahui status hukum yang diperbuat oleh mukallaf. Dari perbedaan tersebut dapat kita ringkas sebagai berikut Fiqh Ushul Fiqh Dalilnya rinci Dalilnya global Pembahasan hukum syar’i secara rinci Pembahasan hukum syar’i secara global Tujuannya mengetahui hukum perbuatan mukallaf Tujuannya mengetahui kaidah istinbath dalil Agar lebih mudah memahami perbedaan kedua ilmu diatas, tentu kita harus mempelajari keduanya. Dengan mempelajari itulah maka kita akan merasakan dan dapat menyimpulkan perbedaan diantara kedua disiplin ilmu tersebut. C. Tujuan Mempelajari Ushul Fiqh Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa keberadaan dalil adalah dimaksudkan untuk menghasilkan hukum yang bisa diterapkan. Namun, keberadaan dalil tidak dapat diketahui kandungan hukumnya tanpa adanya kaidah baku untuk menentukannya. Nah, dengan ilmu ushul fiqh inilah kita mempelajari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada. Maka dapat kita katakan bahwa tujuan mempelajari ushul fiqh adalah agar kita bisa menerapkan kaidah pada dalil-dalil yang ada sehingga bisa menghasilkan hukum syar’i yang bisa diamalkan. Berikut gambaran ringkasnya Kaidah Ushul > Dalil-dalil > Hukum Contoh Dalil perintah menunjukkan hukum wajib > Dirikanlah shalat > Shalat hukumnya wajib D. Manfaat Mempelajari Ushul Fiqh 1. Menyingkap Hukum Permasalahan Kontemporer Di era modern ini permasalahan kaum muslimin semakin lama semakin kompleks. Banyak sekali masalah-masalah kontemporer yang tidak diketahui status hukumnya. Oleh karena itu, dengan mempelajari ushul fiqh inilah seseorang dapat memecahkan permasalahan tersebut. 2. Mengkaji dan Menguji Ulang Ijtihad Ulama Terdahulu Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa kebenaran hanya ada pada Al-Quran dan As-Sunnah. Sementara kebenaran ijtihad para ulama tidak bersifat absolut. Karena bagaimanapun kemampuan mereka dalam berijtihad mereka adalah manusia yang berusaha memahami syariat Islam dengan segenap kemampuan mereka. Yang patut kita pegang adalah bahwa tidak ada satupun dari mereka yang mengklaim ijtihad mereka benar sepenuhnya. Selain itu, banyak sekali terjadi perselisihan pendapat antara salah satu ulama dengan ulama lainnya, terutama dalam permasalahan-permasalahan hukum yang tidak dijumpai dalil tegas yang menunjukkan status hukumnya. Disamping itu, ijtihad yang mereka hasilkan juga terikat dengan ruang dan waktu. Apa yang mereka upayakan dalam menyingkap status hukum suatu permasalahan yang belum ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentunya mempertimbangkan kemaslahatan pada tempat dan apa yang terjadi saat itu. Maka dengan ilmu ushul fiqh inilah kita bisa mengkaji dan menguji ulang pendapat-pendapat ulama terdahulu. Sehingga kita bisa mengetahui mana pendapat yang benar atau yang lebih kuat diantara pendapat yang ada sehingga dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum. E. Sejarah Singkat Ilmu Ushul Fiqh Berikut ini sejarah singkat perkembangan ilmu ushul fiqh sejak zaman Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wasallam hingga penyusunannya secara sistematis dalam sebuah kitab berjudul “Ar-Risalah” yang disusun oleh ulama yang sangat berilmu Al-Imam Asy-Syafi’I rahimahullah. 1. Masa Nabi shallallaahu alaihi wasallam Pada hakikatnya ilmu ushul fiqh ini sudah ada sejak zaman Nabi. Namun, ilmu ini masih berupa praktek dan belum berupa teori yang di susun dalam kitab-kitab. Bahkan ilmu ini lahir sebelum ilmu fiqh. Karena mustahil fiqh ada tanpa adanya ushul fiqh. Sebagaimana ilmu bahasa Arab, tentunya ilmu bahasa Arab sudah ada sejak dahulu. Namun, baru berupa praktek, belum berupa teori yang dibukukan secara sistematis. Bukti keberadaan ilmu ushul fiqh ini dapat kita ketahui dari kisah Rasul saat mengirimkan pasukannya untuk mengepung perkampungan bani Quraidhah.[3] Sebelum pasukan itu berangkat beliau shallallaahu alaihi wasallam berpesan pada pasukannya لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ “Janganlah salah seorang kalian shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidahah.” Namun, ditengah perjalanan, waktu Ashar pun tiba. Ketika waktu Ashar hampir berlalu sementara perjalanan masih jauh maka sebagian sahabat justru malah melaksanakan shalat Ashar. Sementara sebagian sahabat lainnya tetap melanjutkan perjalanan dan baru melaksanakan shalat Ashar pada malam hari sesampainya di perkampungan Bani Quraidhah. Dari kisah ini terjadi perbedaan pemahaman antara sebagian sahabat dengan sebagian lainnya. Pemahaman yang pertama memahami pesan Nabi secara tekstual, yakni “Tidak akan melaksanakan shalat Ashar apapun yang terjadi hingga sampai di tempat tujuan, yakni perkampungan Bani Quraidhah.” Sementara pemahaman yang kedua, memahami pesan Nabi secara kontekstual, yakni “Bercepatlah agar bisa sampai bani Quraidhah sebelum waktu Ashar tiba sehingga kalian bisa shalat Ashar di sana.” Perbedaan pemahaman ini tidaklah tercela. Karena kedua kelompok ini memiliki dasar masing-masing dalam memahami pesan Nabi. Bahkan, ketika kasus tersebut dilaporkan pada Nabi pun beliau tidak mencelanya. 2. Masa Sahabat radhiyallaahu anhum Pada masa ini permasalahan baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya mulai bermunculan. Tentu permasalahan-permasalahan tersebut perlu diketahui status hukumnya. Terputusnya wahyu dan wafatnya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam menjadikan permasalahan tersebut tidak bisa ditanyakan langsung kepada beliau. Oleh karena itu, para sahabat berusaha keras mengerahkan segenap pikirannya berijtihad untuk menjawab status hukum pada permasalahan tersebut. Karena tuntutan tersebutlah ilmu ushul fiqh semakin berkembang. Mereka para sahabat memperoleh kemampuan berijtihad melalui pengalaman mereka dan pengamatan mereka terhadap cara Nabi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Selain itu, kemampuan mereka terhadap bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya membuat mereka semakin mudah dalam menyingkap status hukum pada permasalahan baru yang dihadapi. Sahabat yang terkenal dengan kemampuannya dalam berijtihad saat itu, diantaranya Empat Khulafa’ur Rasyidin Ibnu Mas’ud Ibnu Abbas Aisyah binti Abu Bakar Ibnu Umar dll 3. Masa Tabi’in radhiyallaahu anhum Pada masa ini lapangan istinbath hukum semakin meluas, seiring semakin banyaknya persoalan yang mereka hadapi sehingga memerlukan kejelasan status hukum pada persoalan tersebut. Dalam menetapkan suatu hukum mereka menggunakan metode yang berbeda-beda; ada yang dengan metode qiyas, maslahah, amal ahli madinah, dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul corak fikih yang berbeda diantara dua kota yaitu Madinah dan Irak. Beberapa tabi’in yang tampil sebagai mujtahid saat itu, diantaranya Sa’id Ibnu Musayyab Ibrahim An-Nakha’i Alqamah 4. Masa Imam Madzhab rahimahumullah Perbedaan aliran fikih tersebut semakin tampak pada masa Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Aliran tersebut diantaranya Madzhab Ahlir Ra’yi Aliran Fiqh Rasional Madzhab Ahlil Hadits Aliran Fiqh Tradisional Madzhab ahlir ra’yi atau disebut juga madrasah ahlir ra’yi berdiri di Irak yang diprakarsai oleh Imam Abu Hanifah. Sedangkan madzhab ahlil hadits atau disebut juga madrasah alhlil hadits berdiri di Madinah yang diprakarsai oleh Imam Malik. Perbedaan tersebut disebabkan beberapa faktor diantaranya Letak geografis Irak yang jauh dari sumber hadits yakni Madinah Banyak pemalsuan hadits di Irak sehingga sangat berhati-hati dalam menerima riwayat hadits Di Madinah apabila terjadi pemalsuan hadits lebih mudah diketahui mengingat banyaknya ulama hadits di sana. Kebutuhan hukum di Irak sangat kompleks, mengingat di sana adalah kota metropolitan Kondisi Madinah masih homogen dan kebutuhan terhadap hukum tidak begitu kompleks Pada masa Imam Syafi’i perkembangan ilmu fikih menjadi lebih pesat lagi. Adanya perbedaan corak fikih antara Irak dan Madinah menjadikan perdebatan antara ke dua kubu tersebut semakin sengit. Pada masa ini Imam Syafi’i menyaksikan langsung perdedebatan antara kedua kubu madzhab fikih yang berkembang saat itu. Dan saat itu, beliau juga belajar langsung dari kedua aliran fikih tersebut, yakni belajar langsung kepada Imam Malik, dan kepada salah satu muridnya Imam Abu Hanifah, yakni Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani. Dengan pengetahuannya yang luas itulah beliau menyusun secara sistematis metode kerangka berpikir yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum dalam kitabnya yang terkenal “Ar-Risalah”. RINGKASAN A. Pengertian Ushul Fiqh secara bahasa = Pondasi Pemahaman Ushul Fiqh secara istilah = Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh secara umum dan tata cara mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada serta tentang ihwal mujtahid. B. Perbedaan dengan Fiqh Fiqh Ushul Fiqh Dalilnya rinci Dalilnya global Pembahasan hukum syar’i secara rinci Pembahasan hukum syar’i secara global Tujuannya mengetahui hukum perbuatan mukallaf Tujuannya mengetahui kaidah istinbath dalil C. Tujuan Mempelajari Mengetahui kaidah berfikir yang harus ditempuh untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada. D. Manfaat Mempelajari Menyingkap status hukum permasalahan kontemporer Mengkaji dan menguji ulang hasil kesimpulan hukum ulama terdahulu E. Sejarah Singkat Masa Nabi = Baru berupa praktek dan belum menjadi teori Masa Sahabat = Permasalahan baru muncul dan perlu diketahui status hukumnya. Maka para sahabat berusaha segenap kemampuan mereka menyingkap status hukum tersebut dengan ilmu yang mereka miliki. Masa Tabi’in = Permasalahan semakin komplek dan mulai muncul perbedaan aliran fiqh antara Irak dan Madinah. Masa Imam Madzhab = Muncul corak fiqh rasional yang diprakarsai imam Abu Hanifah dan corak fiqh tradisional yang diprakarsai imam Malik. Dua corak tersebut dipelajari imam Syafi’i. Kemudian kerangka berfikir yang beliau tempuh dalam mengambil kesimpulan hukum disusun secara sistematis dalam sebuah kitab berjudul “Ar-Risalah.” [1] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Al-Ushul min Ilmi Al-Ushul, Daaru Ibni Al-Jauziy hlm. 7 [2] Ibid, hlm 8. [3] Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya no. 4119 dan juga selainnya. Kata Ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak plural dari kata عِلْمُ ilm. Ia merupakan bentuk masdar dari kata عَلِمَ- يَعْلَمُ عُلُوْمٌ . Secara etimologi arti kata عِلْمُ ilmu adalah semakna dengan kata المعرفة الفهم و pemahaman dan pengetahuan. Pada pendapat yang lain kata ilmu juga diartikan dengan kata الجزم yang pasti, artinya suatu kepastian yang dapat diterima akal penjelasannya. Di dalam ensiklopedi islam dijelaskan bahwa kata ilmu adalah merupakan lawan kata dari jahl yang berati ketidaktahuan, atau kebodohan. Kata ilmu juga biasa disepadankan dengan kata bahasa arab lainnya, yaitu ma’rifah pengetahuan, fiqh pemahaman, hikmah kebijaksanaan, dan syu’ur perasaan. Ma’rifah adalah padanan kata yang paling sering digunakan. Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa setiap kosa kata bahasa arab yang menggunakan kata yang tersusun dari huruf-huruf ain, lam, dan mim dalam berbagai bentuknya adalah berarti sesuatu yang sedemikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan. Berdasarkan pengertian ilmu tersebut maka dapat ditarik sebuah pengertian bahwa arti kata Ulumsebagai jamak plural dari kata ilmu secara etimologi adalah berarti kumpulan dari beberapa ilmu. Secara terminologi, definisi ilmu cukup beragam sekali, sebab pengertian tersebut selalu diwarnai oleh pendekatan masing-masing tokoh, yaitu sebagai berikut a M. Quraishy shihab mendefenisikan ilmu sebagai اِدْرَاكُ الشَّيْءِ بِحَقِيْقَتِهِ mengetahui yang sebenarnya. b Menurut para hukama’, ilmu adalah يريدون به صورة الشيء الحاصلة فى العقل او تعلق النفس با الشيء على جهة انكشافه Suatu yang dengannya memberikan gambaran terhadap sesuatu yang dihasilkan akal atau ketergantungan diri dengan sesuatu berdasarkan ungkapan yang jelas. c Para Ahli Kalam memberi pengertian ilmu dengan بانه صفة يتجلى بها الامر لمن قامت به Suatu yang dengannya ilmu seseorang menjadi memiliki sifat yang jelas dalam menghadapi suatu perkara. Ketika ilmu diartikan dengan pengetahuan, maka pengetahuan memiliki dua jenis, yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, seperti perasaan, pikiran, pengalaman, panca indra, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan objek, cara, dan kegunaannya. Dalam bahasa inggris jenis pengetahuan ini disebut knowledge. Selanjutnya pengetahuan ilmiah adalah keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan memperhatikan objek yang ditelaah, cara yang digunakan, dan kegunaan pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah harus memperhatikan objek ontologis, landasan epistomologis, dan landasan aksiologis dari pengetahuan itu sendiri. Jenis pengetahuan ini dalam bahasa inggris disebut science. maka adapun ilmu yang masuk dalam kategori pengetahuan ini adalah pengetahuan ilmiah. Berdasarkan beberapa pengertian ilmu tersebut pemakalah memahami bahwa eksistensi ilmu adalah pengetahuan utuh terhadap suatu objek yang dapat dibuktikan kebenarannya. Selanjutnya pengertian ilmu juga dapat ditinjau dari penjelasan ayat Al-Qur’an, misalnya sebagaimana penjelasan firman Allah SWT. dalam surah an-naml 15-16. 15. Dan Sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan "Segala puji bagi Allah yang melebihkan Kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman". 16. dan Sulaiman telah mewarisi Daud , dan Dia berkata "Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya semua ini benar-benar suatu kurnia yang nyata". Ayat ini menyimpulkan bahwa arti ilmu yang diwariskan Allah kepada Nabi Daud dan Sulaiman terbagi dua bagian yaitu ilmu tentang pengelolaan alam sunnatullah sebagai investasi untuk menjalankan kenabian dan roda pemerintahan yang dipimpinnya, dan pengetahuan tentang kalamullah, yaitu pengetahuan tentang kitab Zabur. Dengan demikian sebuah ilmu dalam islam harus dapat dibuktikan kebenarannya melalui standarisasi islam, sehingga proses melahirkan dan menerapkan ilmu tersebut sarat dengan nilai-nilai keislaman. Oleh karena hakikat ilmu dalam konsep islam adalah berasal dari Allah SWT. Maka proses penelusuran dan penggunaan ilmu tersebut wajib mematuhi nilai-nilai islam atau ketetapan yang telah diatur Allah SWT. Dalam konteks sebagai disiplin ilmu, Abu Syahbah menjelaskan bahwa suatu ilmu juga berarti sejumlah materi pembahasan yang dibatasi kesatuan tema atau tujuan. Maksudnya sebuah ilmu itu juga harus memiliki kesatuan kawasan garapan pembahasan yang jelas dan tujuan tertentu. Dengan demikian, bahwa pengertian kata Ulum sebagai jamak plural dari kata ilmu adalah kumpulan dari sejumlah pengetahuan ilmiah yang membahas sejumlah materi yang dibatasi kesatuan tema atau tujuan. Al-Qur’an secara etimologi mengandung makna yang berbeda-beda ditinjau dari perspektif ulama, yaitu a Al-lihyani dan kawan-kawan mengatakan Al-Qur’an berasal dari kata qara’a membaca adalah merujuk kepada firman Allah SWT. Pada surat al-Qiyamah 75 ayat 17-18 17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu pandai membacanya. 18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. b Al-Zujaj menjelaskan bahwa kata Al-Qur’an merupakan kata sifat yang berasal dari kata القرأ al-qar’ yang artinya menghimpun. Kata sifat ini kemudian dijadikan nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Makna tersebut menunjukkan bahwa kitab Al-Qur’an menghimpun surat, ayat, kisah, perintah, larangan dan intisari kitab-kitab suci sebelumnya. c Al-asy’ari mengatakan bahwa Al-Qur’an diambil dari kata kerja qarana’ menyertakan karena Al-Qur’an menyertakan surat, ayat, dan huruf-huruf. d Al-farra’ menjelaskan bahwa kata Al-Qur’an diambil dari kata dasar qara’in’ penguat karena Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat yang saling menguatkan, dan terdapat kemiripan antara satu ayat dengan ayat-ayat lainnya. Berdasarkan pendekatan etimologi tersebut dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an memiliki beberapa kriteria yang beragam, seperti kitab yang menjadi bacaan, kitab yang menghimpun berbagai hal, kitab yang mengandung berbagai kebaikan, dan kitab yang menguatkan kebenaran. Artinya semua makna nama-nama di atas adalah memberikan pesan positif terhadap eksistensi dan peran Al-Qur’an di tengah-tengah kehidupan manusia. Dalam teori yang lain, istilah Al-Qur’an dinyatakan sebagai nama khusus yang ditujukan kepada kumpulan wahyu Allah SWT. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Istilah Al-Qur’an ini bukan berasal dari pecahan kata dalam bahasa arab ialah nama kitab-kitab seperti Taurat, Zabur, dan injil. Semua istilah ini adalah khusus untuk nama kumpulan waahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabinya masing-masing. Sedangkan Al-Qur’an secara terminologi berdasarkan pendapat ulama sebagaimana berikut a Menurut Manna’ Khalil Al-Qattan كَلَامُ اللهِ الْمُنَزّلُ عَلَى مُحَمّدٍ المُتَعَبّدُ بِتِلَاوَتِهِ “Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan membacanya memperoleh pahala”. Kalimat membacanya memperoleh pahala’ pada pengertian di atas telah memberikan pada sebahagian orang bahwa hanya Al-Qur’an yang berpahal membacanya. Namun menurut pemakalah sendiri persepsi demikian adalah keliru, sebab kata-kata lain juga banyak yang bernilai pahala membacanya, seperti Haditst, zikir dan lain-lain. Menurut hemat pemakalah kata-kata tersebut di dalam defenisi Al-Qur’an adalah bermaksud untuk menunjukkan keistimewaan Al-Qur’an al-karim dibanding bacaan-bacaan yang lain. b Menurut Abu Syahbah هُوَ كِتَابُ اللهِ عَزّ وَجَلّ المُنَزّلُ عَلىَ خَاتَمِ أَنْبِيَائِهِ مُحَمّدٍ بِلَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ، الْمَنْقُوْلُ بِالتّوَاتُرِ الْمُفِيْدُ لِلْقَطْعِ وَالْيَقِيْنِ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ مِنْ اَوّلِ سُوْرَةِ الفَاتِحَةِ اِلىَ آخِرِ سُوْرَةِ النّاسِ. “Kitab Allah yang diturunkan-baik lafadzh maupun maknanya- kepada Nabi terakhir, Muhammad SAW., yang diriwayatkan secara mutawatir, yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan akan kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad, yang ditulis pada mushaf mulai dari awal surat al-fatihah sampai akhir surat an-nash. Defenisi di atas sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah An-Nahl ayat 89 89. ..... dan Kami turunkan kepadamu Al kitab Al Quran untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. Sebagaimana dijelaskan di atas ungkapan Ulum Al-Qur’an telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu dalam kajian islam. Secara bahasa ungkapan ini berarti ilmu-ilmu Al-Qur’an. Oleh karena itu di indonesia disiplin ilmu ini kadang-kadang disebut Ulum Al-Qur’an atau Ulumul Qur’an dan kadang-kadang disebut ilmu-ilmu Al-Qur’an. Dengan demikian kata Ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an tersebut telah memberikan pengertian bahwa Ulum Al-Qur’an adalah kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahamannya terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Dari sisi gramatikalnya, pengertian Ulum Al-Qur’an dapat dipahami melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan idhafi dan maknawi. Pengertian Ulum Al-Qur’an secara idhafi yakni dalam bentuk idhofi ghoiru mahdhah maka makna lafadh “Ulum” yang disandarkan kepada lafadzh “Al-Qur’an” adalah berarti semua ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an karena lafadh “Ulum” adalah jamak plural yang berarti banyak, sehingga mencakup semua ilmu yang membahas Al-Qur’an dari berbagai macam segi. Antara lain, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasm ustmany, ilmu gharib lafadzh, majaz Qur’an, dan lain-lain. Selanjutnya definisi Ulum Al-Qur’an secara maknawi adalah segala sesuatu yang di bahas di dalamnya berkaitan dengan Al-Qur’an, seperti menurut Abu bakar al-arabi ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an mencapai bagian. Hitungan ini diperoleh dari hasil perkalian jumlah kalimat Al-Qur’an dengan empat, karena masing-masing kalimat Al-Qur’an mempunyai makna zhahir, batin, hadd, dan mathla’. Jumlah tersebut akan semakin bertambah jika melihat urutan kalimat di dalam Al-Qur’an serta hubungan urutan itu. Jika sisi itu yang dilihat maka ruang lingkup/kawasan pembahasan ’UlumAl-Qur’an tidak akan dapat terhitung lagi. Sedangkan Ulum Al-Qur’an secara terminologi berdasarkan pendapat ulama sebagaimana berikut a Menurut Muhammad hasby ash-shiddiqy مَبأَحِثُ تَتَعَلّقُ بِالْقُرْأنِ الْكَرِيْمِ مِنْ نَاحِيَةِ نُزُوْلِهِ وَتَرْتِيِبِهِ وَجَمْعِهِ وَكِتَابَتِهِ وَقِرَاءَتِهِ وَتَفْسِيْرِهِ وَاِعْجَازِهِ وَنَاسِخِهِ وَمَنْسُوْخِهِ وَدَفْعِ الشُّبَهِ وَنَحْوِ ذَالِكَ . “Beberapa pemahaman yang berhubungan dengan Al-Qur’an al-karim, dari segi turunnya, urutan penulisan, kodifikasi, cara membaca, kemukjizatan, nashikh, mansukh, dan penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, serta hal-hal lain”. b Menurut Abu Syahbah sebagaimana yang dikutip oleh rosihon anwar menjelaskan عِلْمٌ ذُوْ مَبَا حِثَ تتعلّقُ باِالقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مِنْ حَيْثُ نُزُوْلِهِ وَتَرْتِيْبِهِ وَكِتَابَتِهِ وَجَمْعِهِ وَقِرَاءَ تِهِ وَتِفْسِيْرِهِ وَاِعْجَازِهِ وَنَاسِخِهِ وَمَنْسُوْخِهِ وَمُتَشَابِهِهِ إِلىَ غَيْرِ ذَالِكَ مِنْ المَبَاحِثِ الّتِى تُذْكَرُ فِي هَذَا الْعِلْمِ. “Beberapa pemahaman yang berhubungan dengan Al-Qur’an al-karim, dari segi turunnya, urutan penulisan, kodifikasi, cara membaca, kemukjizatan, nashikh, mansukh, dan penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, serta hal-hal lain”. Walaupun dengan redaksi yang sedikit berbeda, defenisi-defenisi di atas mempunyai maksud yang sama. Yaitu menjelaskan Ulum Al-Qur’an sebagai kumpulan sejumlah pembahasan yang pada mulanya merupakan ilmu-ilmu yang berdiri sendiri, ilmu-ilmu ini tidak keluar dari ilmu-ilmu agama dan bahasa, karena masing-masing menampilkan sejumlah aspek pembahasan yang dianggapnya penting untuk menjelaskan kandungan-kandungan Al-Qur’an dari berbagai aspeknya. Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i menjelaskan bahwa pengertian Ulum Al-Qur’an di atas mengandung dua substansi pokok, yaitu 1. Ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah pembahasan 2. Pembahasan-pembahasan ini mempunyai hubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia. Selanjutnya kata مَباحِثَ yang merupakan bentuk jamak plural yang tidak berhingga shighah muntaha al-jumu’ pada defenisi pertama adalah menegaskan bahwa pembahasan Ulum Al-Qur’an pada pengertian di atas tidak terbatas pada aspek-aspek yang ditampilkan saja, melainkan mencakup pembahasan tentang penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan-keraguan terhadap Al-Qur’an. Selanjutnya keluasan kawasan garapan ’Ulum Al-Qur’an juga diperkuat oleh kata وَنَحْوِ ذَالِكَ yang berarti menunjukan pembahasan apapun yang tidak dapat disebutkan jumlahnya, sejauh ilmu tersebut menyoroti aspek-aspek al qurân termasuk Ulum Al-Qur’an. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Ulum Al-Qur’an adalah suatu nama disiplin ilmu bagi sekumpulan ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an. Page 2 Definisi Ulumul Qur’an Ulumul Qur’an adalah ilmu yang tersusun atas berbagai macam pokok pembahasan yang berkaitan dengan al-Qur’an dari berbagai aspeknya, di antaranya ialah nuzulul Qur’an [1], asbabun nuzul, makkiyah, dan madaniyah, sejarah penulisan dan pengumpulan al-Qur’an, rasm [2], i’jaz [3] , ushlub [4] , amtsal [5] , kisah-kisah yang ada di dalam al-Qur’an, tafsir, penjelasan lafazh-lafazh al-Qur’an, dan sebagainya. Tema Pokok Ulumul Qur’an Sebenarnya, tema pokok ulumul Qur’an adalah al-Qur’an itu sendiri dilihat dari berbagai macam aspek sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, yakni uraian yang terkait dengan ayat dan surat al-Qur’an, makkiyah dan madaniyyah, asbabun nuzul, dan lain sebagainya. Barangkali, alasan ulama memberi nama terhadap ilmu ini dengan “ulumul Qur’an” jamak/plural, bukan “ilmu al-Qur’an” tunggal/singular ialah masing-masing-masing-masing tema Pembahasan dalam disiplin ilmu ini merupakan ilmu yang berdiri sendiri, misalnya pembahasan tentang sisi kemukjizatan al-Qur’an telah diulas oleh para ulama dalam kitab tersendiri. Begitu juga dengan tema-tema yang lain, semisal makkiyah dan madaniyyah, serta muhkam dan mutasyabbih [6]. Jadi, oleh karena ilmu ini tersusun atas tema-tema yang independen, maka dinamakan ulumul Qur’an, bukan ilmu al-Qur’an. Manfaat Mempelajari dan Mengetahui Ulumul Qur’an Adapun di antara manfaat dan kegunaan mengetahui ulumul Qur’an adalah dapat memberi gambaran secara lengkap dan sempurna tentang al-Qur’an dari aspek turunnya ayat, tafsir, pengumpulan serta penulisan al-Qur’an, dan sebagainya. Ketika gambaran tersebut telah sempurna di dalam hati kita, maka bertambahlah nilai kesucian dan kesakralan al-Qur’an di dalam diri dan jiwa kita, serta bertambah pula pengetahuan kita tentang petunjuk, adab, hukum, dan syariah yang terkandung di dalam kitab suci ini. Sebagaimana kita ketahui, dengan mendalami ulumul Qur’an, kita mampu menolak kebatilan serta kesesatan yang diperbuat serta disebarkan oleh orang-orang jahiliah dan pihak-pihak yang membenci al-Qur’an. Disiplin ilmu ini juga membuat kita mengetahui syarat-syarat yang harus dikuasai oleh seseorang yang ingin mempelajari tafsir al-Qur’an. Selain itu, memahami ulumul Qur’an juga membuat kita menyadari betapa luar biasa upaya serta perjuangan yang telah dicurahkan dan dilakukan oleh para ulama untuk mengabdikan diri kepada al-Qur’an. Di antara mereka, ada yang menulis serta menyusun kitab tafsir al-Qur’an dan ada pula yang mengkhususkan membahas tema-tema lain yang berkaitan dengan al-Qur’an. Kitab-Kitab Ulumul Qur’an Para sahabat yang hidup pada masa Rasulullah tidaklah memerlukan kitab-kitab ulumul Qur’an. Sebab, mereka telah mengerti dan memahami seluk-beluk ilmu ini. Jika suatu saat tidak dapat memahami sebagian dari ilmu tersebut, mereka akan menanyakannya secara langsung kepada beliau. Baru pada abad ke-2 Hijriah, para ulama mulai menyusun dan mengarang kitab-kitab ulumul Qur’an dengan beragam tema dan pokok pembahasan. Di antara mereka, ada yang menulis tafsir al-Qur’an , misalnya Yazid bin as-Sulami w. 117 H, Syu’bah bin al-Hujaj w. 160 H, dan Waki’ bin al-Jarrah w. 197 H. Setelah itu, muncul Muhammad bin Jarir ath-Thabari w. 310 H. Ia adalah syaikh al-mufassirin imamnya para ahli tafsir. Kitab tafsirnya yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an merupakan kitab tafsir yang paling lengkap dan unggul di antara kitab tafsir lainnya. Selain tafsir, para ulama juga menulis berbagai ragam tema ulumul Qur’an yang lain, misalnya Ali bin al-Madini w. 224 H. Sosok yang menjadi gurunya Imam Bukhari ini telah menyusun sebuah kitab tentang asbabun nuzul. Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam w. 224 H, ia menyusun sebuah kitab tentang nasikh mansukh dan qira’at. Ibnu Qutaibah w. 276 H, ia mengarang kitab tentang musykil al-Qur’an. Mereka adalah para ulama ahli al-Qur’an yang hidup pada abad ke-3 Hijriah. Satu abad kemudian, yakni abad ke-4 Hijriah, muncul para ulama yang melanjutkan usaha-usaha mereka dalam menulis kitab-kitab ulumul Qur’an, di antaranya adalah Muhammad bin Khalaf bin Marzuban w. 309 H, ia menulis kitab yang berjudul Al-Hawi fi Ulum al-Qur’an. Abu Bakr Muhammad bin al-Qasim al-Anbari w. 328 H, ia menyusun kitab tentang ulumul Qur’an. Abu Bakr as-Sijistani w. 330 H, ia mengarang sebuah kitab tentang gharib al-Qur’an. Pada Abad-abad selanjutnya, juga muncul para ulama yang lain, di antaranya adalah Abu Bakar al-Baqilani w. 403 H, ia menyusun sebuah kitab tentang i’jaz al-Qur’an. Ali bin Ibrahim bin Said al-Hufi H, ia menulis kitab yang berjudul I’rab al-Qur’an. Al-Izzu bin Abdus Salam w. 660 H, sosok yang mendapat gelar rajanya para ulama tersebut telah menyusun sebuah kitab yang berjudul Majaz al-Qur’an. Al-Imam bin Al-Qayyim w. 751 H, ia menulis sebuah kitab yang berjudul Aqsam al-Qur’an. Kajian terhadap ulumul Qur’an seakan tak pernah padam. Terbukti, pada masa kontemporer, banyak juga kitab ulumul Qur’an yang diterbitkan, ia antaranya ialah I’jaz al-Qur’an dikarang oleh Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i. Tarjamah Ma’ani al-Qur’an disusun oleh Syaikh Muhammad Musthafa al-Maraghi. Minhaj al-Furqan fi Ulum al-Qur’an ditulis oleh Syaikh Muhammad Ali Salamah. Al-Bayan fi Mabahits min Ulum al-Qur’an dikarang oleh Syaikh Abdul Wahab Majid Ghazlan. Mabahits fi Ulum al-Qur’an disusun oleh Syaikh Manna’ al-Qathan. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an ditulis oleh Syaikh Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani. Ini merupakan kitab ulumul Qur’an yang paling luas pembahasannya, unggul, indah ushlub-nya, tinggi gaya bahasanya, serta paling banyak memberi sanggahan dan penolakan terhadap hal-hal yang syubhat tidak jelas yang disebarkan oleh orang-orang yang membenci al-Qur’an. Referensi Thanthawi, Muhammad Sayyid, Ulumul Qur’an, Yogyakarta Diva Press, 2013. Turunnya al-Qur’an ⤴Bentuk tulisan al-Qur’an ⤴kemukjizatan Al-Qur’an ⤴gaya bahasa al-qur’an ⤴perumpamaan-perumpamaan dalam al-qur’an ⤴Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maknanya secara langsung, sedangkan mutasyabbih adalah ayat yang memerlukan penjelasan secara mendalam. Bahkan, sebagian ulama menyebut ayat yang masuk dalam kategori mutasyabbih hanya diketahui maknanya oleh Allah Ta’ala. ⤴

pengertian ulumul qur an secara etimologi dan terminologi